Berkata Imam Al-Shadiq (a.s.); " Rasulullah (s.a. w) bersabda bahwa Allah berkata kepada Dawud, ‘ Wahai Dawud, sampaikanlah kabar gembira kepada para pelaku dosa dan peringatkanlah orang-orang yang saleh.` Dawud berkata, ‘ Bagaimana aku menyampaikan kabar gembira kepada para pelaku dosa dan memperingatkan orang yang saleh?` Allah menjawab, ‘ Sampaikanlah kabar gembira kepada para pelaku dosa bahwa Aku menerima tobat mereka, dan peringatkanlah orang - orang yang saleh agar mereka tidak memiliki sifat ‘ujb dalam perbuatan-perbuatan mereka, karena tidak ada seorang hamba pun yang akan selamat jika Aku menilai perbuatan - perbuatan mereka (dan patut mendapat hukuman, karena - menurut persyaratan keadilan - seorang manusia dengan seluruh ibadahnya tidak dapat bersyukur kepada Allah sebagaimana seharusnya - bahkan untuk satu rahmat - Nya pun)`"
Merenungi segenap yang ada, - yang maujud-, di alam, manusia akan memahami gelora kesempurnaan berkilauan. Cerlang gemilang di segala seginya. Pancaran emanasi (al-ibda`) wujud mutlak tiada berbatas. Dan dari mana pun arahnya, mukhlishin akan memahami ke-tunggal-an wujud semua yang ada. Dan bahkan, hanya wujud mutlak ini sendirilah yang memiliki ‘ ashalah, atau yang benar - benar ada secara nyata. Dan bagaimana dengan melodi kecapi kehidupan di alam korporeal (baca; material) maupun spiritual yang terdispersikan (baca; teruraikan) ke dalam kemahajamakan tiada terbilang? Al-katsrah (baca; kejamakan) hanyalah konsep mental hasil operasi akal yang imajinatif (al-mutawahham) dan subyektif. Tidak memiliki ‘ashalah. Maka tepatlah jika seorang filsuf mengatakan, " Aku berfikir, maka aku tidak ada" Kenapa ? Karena yang ada hanyalah Tuhan, wujud murni mahasempurna tiada tara.
Saat ini saat saya merenung dan mungkin Anda pula merenung, kenyataannya saya merasa diri saya ada, sebagaimana Tuhan ada ? Atau benarkah Anda tidak melihat sama sekali keberadaan Anda sama sekali ? Relakah Anda misalnya dibakar di neraka walaupun beribadah terus kepada-Nya? Atau bisakah Anda tetap sholat lima waktu hanya karena Ia walaupun misalnya tidak diwajibkan oleh Islam? Jika tidak berarti Anda masih ada dalam pikiran Anda.
Maka jika operasi awal pemikiran kita meng-asumsi-kan bahwa kita ada, seluruh gerak fikiran lain yang merasuki seluruh geletar batin dan memasuki hakikat amal kita tergelapkan oleh hijab "aku ada". Maka adakah amal apa pun yang patut dihitung dihadapan - Nya kelak ? Karena hakikat dari amal adalah niatnya. Dan niat adalah perkara batin. Dan hakikat dari gerakan batin adalah pengetahuan yang telah ditashdiq. Sedangkan seluruh pengetahuan kita tergelapkan oleh proposisi dasar yang salah, yaitu " aku ada". Padahal hanya Ia yang ada, sedang aku tiada. Dan sungguh ini adalah saripati syirik. Maka mungkinkah kita selamat jika Ia menilai amal kita dengan penilaian yang adil? Gemeretak tulang sendi takut dalam jiwa tatkala mengingat rintihan Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husein (a.s.); laa akhsyaa illa ‘adlah ... Tidak aku takuti kecuali keadilan-Nya...
Jelas Murtadha Mutahhari menjelaskan relasi identitas antara asy-syar (kejahatan, keburukan, kekurangan) dengan al-’adammiyyaat (hal-hal yang tidak ada). Kejahatan adalah hal-hal yang tidak ada. Demikian pula keburukan, kekurangan, dan lain - lain. Maka, apakah hakikat seorang manusia yang merupakan satu dari al-’adamiyyaat? Tuhan, inilah aku yang senantiasa dalam kegelapan dan kesesatan. Tak kulihat apa pun di kiri, kanan, belakang, depan ku melainkan kegelapan. Tapi sepercik tangan harapku menjulur menanti sentuhan rahmat wujud - Mu. Ia menggapai - gapai, sedang Engkaulah Sang Maha Penyambut. Ia merintih - rintih, sedang Engkaulah Sang Maha Kasih. Ia senantiasa bergeletaran mengetuki pintu - Mu, sedang Engkaulah Sang Maha Pembuka Pintu. Maka , Yaa Mursilar-riyaah, tiupkanlah angin Kegemilangan dan Keindahan Wujud - Mu menerpa geletar harap faqir yang terlunta dalam hakikat kegelapan ini.
wallohu a’lam bish-showwab.
0 komentar:
Posting Komentar