Ketika kita ditanya seperti apakah bentuk penampilan yang ideal seorang perempuan, kebanyakan orang akan menjawab perempuan yang cantik adalah orang yang berambut lurus, langsing, berkulit putih, lembut, dan mungkin hanya segelintir orang saja yang mengatakan cantik itu merupakan sesuatu yang relatif. Lantas, apakah pendapat tentang penampilan ideal diatas memang identik dengan salah satu syarat kecantikan? Persoalan mendefenisikan cantik tentunya tentu saja tidak terlepas dari ruang dan waktu. Dahulu kala, jauh sebelum laju mordernisasi muncul, defenisi cantik mungkin saja bertolak belakang dengan apa yang diterima hari ini. Pendefenisian cantik juga berkaitan dengan siapa yang mendefenisikan? Ternyata “cantik” berhubungan dengan konstruksi social, gender, budaya patriarkat, hegemoni, dan kapitalisme pasar bebas.
Begitu banyak varian yang mempengaruhi defenisi cantik. Siapa yang mendefenisikan? Perempuan, tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat mereka, tetapi didorong untuk menikmati seksualitas mereka melalui mata pria.. seolah-olah ‘perempuan tidak pernah untuk menentukan identitas siapa diri mereka dan bagaimana mereka semestinya’. Bentuk tubuh, rambut, pakaian, kosmetik yang dipilih, jarang digunakan untuk diri mereka sendiri, hampir selalu ‘dipersembahkan untuk’…. Baik itu terhadap pandangan pria maupun tuntutan budaya dimana mereka tinggal. Lantas, apakah memang seharusnya seperti itu? Bila ditilik dari persolan gender, sepanjang sejarah, perempuan selalu dianggap sebagai subordinasi dari laki-laki. Perempuan ibarat masyarakat kelas dua dalam satu sistem strata sosial. Konsekuensinya, laki-laki menjadi berkuasa atas kehidupan perempuan… mulai dari pembagian kerja, peran dalam rumah tangga, hingga urusan bisnis yang cenderung menjadikan perempuan sebagai bisnis yang bernilai untuk diperdagangkan.
Hegemoni dan konstruksi seorang pemikir kritis abad ini, Antonio Gramsci, banyak membicarakan tentang hegemoni yang membentuk kesadaran kita akan sesuatu. Hegemoni ini muncul karena adanya dominasi dari sesuatu kelompok yang bertujuan membuat kelompok yang ada dibawahnya menerima pandangan-pandangan atau pemikiran dari kelompok elit tersebut. Hegemoni ini terjadi apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandanggan masyarakat bawah sudah meniru dan menerima cara berpikir dari lifestyle (gaya hidup) dari kelompok yang menghegemoni, mendominasi, dan mengeksploitasi mereka. Di zaman informasi sekarang ini, media memainkan peran dalam mengkonstruksi bangunan pemikiran seseorang, mulai dari menyajikan informasi hingga bentuk lifestyle (gaya hidup). Saat ini, setiap hari kita terus dibombardir citra perempuan ideal yang dikonstruksi melalui media. Citra ideal, seperti bagaimana seorang perempuan harus tetap tampil mempesona diruang publik adalah tema sentral iklan media populer terutama media perempuan akhir-akhir ini. Iklan telah memainkan peran penting dalam pemaknaan bahwa kecantikan bukanlah bawaan alamiah, tetapi sesuatu yang dapat dicapai oleh setiap perempuan malalui pemakaian produk-produk kecantikan seperti, shampo, perawatan kulit, dan produk perawatan bentuk tubuh. Hampir semua model iklan yang ada di produk tersebut adalah perempuan yang berambut lurus, berkulit putih dan tentunya langsing. Dalam media (periklanan), tubuh wanita dipilah-pilah menjadi beberapa bagian sebagai tempat diterapkannya berbagai merk. Media juga melakukan yang disebut pengulangan dan pemunculan suatu hal secara terus menerus seolah-olah itu merupakan sebuah kenyataan.
Akhirnya, terjadinya pengendapan kesadaran pada setiap orang tentang sebuah makna yang disebut ‘cantik’. Keren Jonhson dan Tom Ferguson dalam Thrusting Ourselves mengungkapkan dalam dunia pop, tubuh perempuan di setting sebagai tanda dan presentasi suatu benda, produk, atau komoditas yang dimaksudkan dijual secara massal, tubuh perempuan bahkan dijadikan kepingan-kepingan atau potongan-potongan tanda bergantung produk komoditas apa yang hendak dipasarkan. Citra-citra ideal yang dihembuskan setiap saat oleh media, lama kelamaan membentuk kebudayaan yang mengendap dalam kesadaran tentang standar kecantikan. Dominasi budaya yang ditawarkan oleh media sebagai penjajahan atas tubuh juga turut memberikan lahan-lahan ekonomi bagi beberapa pihak, mulai muncul industri mode, spa, salon dengan fasilitas baru, layanan konsultasi seks dimedia, radio, dan televisi. Jadi telah terjadi keterasingan perempuan dari dirinya sendiri, perempuan tidak lagi autentik, namun dibentuk oleh selera pria maupun pasar. Dan seharusnya perempuan bisa memaknai arti manusia yang unik, manusia yang menurut filsuf Kierkegaard, mempunyai “eksistensi autentik”. Manusia yang autentik adalah manusia yang berani menjadi dirinya sendiri ddan terlepas dari pendefinisian oleh the others… Menjadi manusia yang asli diantara kerumunan manusia-manusia buatan media yang palsu adalah suatu keindahan yang langka. Sama halnya semakin langka dan semakin berbeda suatu hal maka harganya akan semakin tidak ternilai (mahal)…
Begitu banyak varian yang mempengaruhi defenisi cantik. Siapa yang mendefenisikan? Perempuan, tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat mereka, tetapi didorong untuk menikmati seksualitas mereka melalui mata pria.. seolah-olah ‘perempuan tidak pernah untuk menentukan identitas siapa diri mereka dan bagaimana mereka semestinya’. Bentuk tubuh, rambut, pakaian, kosmetik yang dipilih, jarang digunakan untuk diri mereka sendiri, hampir selalu ‘dipersembahkan untuk’…. Baik itu terhadap pandangan pria maupun tuntutan budaya dimana mereka tinggal. Lantas, apakah memang seharusnya seperti itu? Bila ditilik dari persolan gender, sepanjang sejarah, perempuan selalu dianggap sebagai subordinasi dari laki-laki. Perempuan ibarat masyarakat kelas dua dalam satu sistem strata sosial. Konsekuensinya, laki-laki menjadi berkuasa atas kehidupan perempuan… mulai dari pembagian kerja, peran dalam rumah tangga, hingga urusan bisnis yang cenderung menjadikan perempuan sebagai bisnis yang bernilai untuk diperdagangkan.
Hegemoni dan konstruksi seorang pemikir kritis abad ini, Antonio Gramsci, banyak membicarakan tentang hegemoni yang membentuk kesadaran kita akan sesuatu. Hegemoni ini muncul karena adanya dominasi dari sesuatu kelompok yang bertujuan membuat kelompok yang ada dibawahnya menerima pandangan-pandangan atau pemikiran dari kelompok elit tersebut. Hegemoni ini terjadi apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandanggan masyarakat bawah sudah meniru dan menerima cara berpikir dari lifestyle (gaya hidup) dari kelompok yang menghegemoni, mendominasi, dan mengeksploitasi mereka. Di zaman informasi sekarang ini, media memainkan peran dalam mengkonstruksi bangunan pemikiran seseorang, mulai dari menyajikan informasi hingga bentuk lifestyle (gaya hidup). Saat ini, setiap hari kita terus dibombardir citra perempuan ideal yang dikonstruksi melalui media. Citra ideal, seperti bagaimana seorang perempuan harus tetap tampil mempesona diruang publik adalah tema sentral iklan media populer terutama media perempuan akhir-akhir ini. Iklan telah memainkan peran penting dalam pemaknaan bahwa kecantikan bukanlah bawaan alamiah, tetapi sesuatu yang dapat dicapai oleh setiap perempuan malalui pemakaian produk-produk kecantikan seperti, shampo, perawatan kulit, dan produk perawatan bentuk tubuh. Hampir semua model iklan yang ada di produk tersebut adalah perempuan yang berambut lurus, berkulit putih dan tentunya langsing. Dalam media (periklanan), tubuh wanita dipilah-pilah menjadi beberapa bagian sebagai tempat diterapkannya berbagai merk. Media juga melakukan yang disebut pengulangan dan pemunculan suatu hal secara terus menerus seolah-olah itu merupakan sebuah kenyataan.
Akhirnya, terjadinya pengendapan kesadaran pada setiap orang tentang sebuah makna yang disebut ‘cantik’. Keren Jonhson dan Tom Ferguson dalam Thrusting Ourselves mengungkapkan dalam dunia pop, tubuh perempuan di setting sebagai tanda dan presentasi suatu benda, produk, atau komoditas yang dimaksudkan dijual secara massal, tubuh perempuan bahkan dijadikan kepingan-kepingan atau potongan-potongan tanda bergantung produk komoditas apa yang hendak dipasarkan. Citra-citra ideal yang dihembuskan setiap saat oleh media, lama kelamaan membentuk kebudayaan yang mengendap dalam kesadaran tentang standar kecantikan. Dominasi budaya yang ditawarkan oleh media sebagai penjajahan atas tubuh juga turut memberikan lahan-lahan ekonomi bagi beberapa pihak, mulai muncul industri mode, spa, salon dengan fasilitas baru, layanan konsultasi seks dimedia, radio, dan televisi. Jadi telah terjadi keterasingan perempuan dari dirinya sendiri, perempuan tidak lagi autentik, namun dibentuk oleh selera pria maupun pasar. Dan seharusnya perempuan bisa memaknai arti manusia yang unik, manusia yang menurut filsuf Kierkegaard, mempunyai “eksistensi autentik”. Manusia yang autentik adalah manusia yang berani menjadi dirinya sendiri ddan terlepas dari pendefinisian oleh the others… Menjadi manusia yang asli diantara kerumunan manusia-manusia buatan media yang palsu adalah suatu keindahan yang langka. Sama halnya semakin langka dan semakin berbeda suatu hal maka harganya akan semakin tidak ternilai (mahal)…
1 komentar:
kakakakakak......
Posting Komentar